Demi keluarga seorang Dewi rela mengorbankan apa saja

Saturday 11 April 2015

Malam sabtu pon keramat

    Bukan orang jawa namanya kalau tidak menghubungkan sesuatunya dengan neptu dan hari baik. Sebenarnya bukan hari yang dikeramatkan oleh semua orang jawa atau orang kampungku. Tetapi sabtu pon sangat keramat khusus oleh bapakku dan para santri kakekku. Sabtu pon bukan neptu kakekku, itu adalah hari pada saat kakekku untuk terakhir kalinya di dunia. Sehingga bapak dan para santri di hari itu akan bertahlil dan membaca doa serta khataman al-Quran.
   Lantas... Bagus dunk pada hari itu, lantunan ayat suci diperdengarkan dirumahku mulai setelah adzan subuh sampai sebelum magrib. Satu hari bisa mengkhatamkan 30 juz, malamnya dilanjutkan baca tahlil dan doa untuk kakek dan seluruh keluarga santrinya agar selalu dilindungi dan diberkahi oleh gusti Allah.
    Sebenarnya bukan masalah, namanya juga mendoakan rang yang sudah tidak ada. Mencari berkah Allah tentu hal baik adanya. Masalahnya hal itu setiap sabtu pon.....yang punya kalender ada tulisan kecilnya, itu 40 hari akan ketemu dengan yang namanya sabtu pon. Dan acara itu akan diadakan. Trus apa dan bagaimana cekedot alurnya.
    Kamis sore bapakku akan bilang ke ibuku besuk acara malam sabtu pon ( jumat malam). Trus dengan info begitu memang akan menyodori ibuku beberapa uang? Oh....tentu tidak. Itu adalah mandat suami....hukumnya wajib bagi ibuku. Kadang aku tak tega lihat raut wajah ibuku jika sudah hari sabtu pon. Kamis sore dimulai aktifitas bapak akan telp para santri2 nyakakek. Ibuku sibuk belanjauntuk kebutuhan.
    Habis magrib biasa bapak sudah bawa ayam jago 2-3 ekor. Berapa harganya bagi bapak tak masalah, tetangga yang jual kasian kalau ditawar. Lantas apa itu dia bayar, tidak juga itu hutang dibayar nanti panen atau ada uang. Sepele dan rutin satu hal itu jadi bumbu untuk pertengkaran. Dari jam 4 sore setelah mandikan anakku, dapur masih mengepul dan kayu bakar terus menyumpal di dapur. Aku orang kampung, bukan kompor atau gas, pawon (dapur red jawa) alat memasak dirumahku.
     Sampai jam 10 malam ibuku masih juga berkutat di dapur, masak air buat minum, manyiapkan bumbu besuk, membersihkan ubi dan mengupasnya untuk jajanan besuk, memecah kelapa sampai dibuat santan, motong beberapa sayuran. Setelah aku menidurkan anakku aku lekas bantu ibu sampai sekiranya sudah. Tidak diselesaikan malam itu juga karena akan dihidangkan jumat jadi dimasaknya juga besuk agar tetap hangat. 
"Nyediain makanan buat tamu kok dingin, kaya makanan sisa aja" marah2nya
    Jam 3 pagi ibu sudah bangun, biasanya aku lantas menyusul untuk bantu. Nyalakan kayu bakar di pawon, menanak nasi, goreng lauk, buat sayur, lanjut ngrebus ubi dan membuat jadah (kue orang jawa). Adzan subuh selesai ada beberapa orang sudah datang untuk mulai mengaji al-Quran. Aku dah tanggap kopi dan teh hangat siap diantar, telat bisa dimarahin bos (bapak). Entah bagaimana pontang-pantingnya yang di dapur, kayu bakar habis, masak ini, masak itu dengan waktu yang dibatasi.
    Jam 5 suamiku sudah bangun, dia sudah ngerti tugasnya bagaimana. Setelah sholat lanjut nyapu halaman depan, kandang dan rendam pakaian. Anakku bangun buru2 suami menghandel dan bercanda bentar agar tak nangis. Setelah dirasa cukup dimandikan dan diajak lihat TV. Suami mengatur agar aku bisa bantu ibu dan anak juga kepegang. Anak sudah senang lihat TV, ditinggalnya dan mencuci pakaian kami.
    Jam 6 waktunya sarapan, yang mengaji berhenti dan semua menuju meja makan. Ya nasi pecel lauk tempe, telur dan kerupuk. Aku lihat suami juga sudah menyuapi anak sambil lihat tivi. Ubi yang aku rebus udah matang, begitu juga jadah bakar dah siap, aku bawa ke depan untuk dihidangkan. Makanan untuk sarapan sudah selesai, lanjut...
    Sekarang aku motong sayur dan buat bumbu, untuk sayur makan siang. Aturan bapak adalah makan harus beda menu. Ibu goreng2 disamping sambil sesekali buka tutup aduk nasi. Sekarang masak nasi untuk acara malam. Dan masaknya pun tidak bisa sekali dalam 1 panci. Maklum tidak punya panci besar dan menu nasinya ada 2, nasi biasa dan nasi uduk. Bisa dibayangin berapa lama masak nasi segitu banyaknya.

    Setelah menjemur pakaian suami tanya mengenai ayam. Yang nyembelih kyai atau dia, soalnya mau berangkat kerja. Kata ibu sumiku saja karena kyainya barusan pulang ada perlu. Setelah ditunjukkan yang mana yang dipotong, suamiku sendiri di kebun motong ayam 2. Setelah dirasa sudah mati ayam dibawa masuk rumah. Kemudian suami lanjut berangkat sambil anter anak berangkat sekolah.
Bapak yang baru datang marah2, ayam yang dipotong bukan itu tapi satunya. Cekcok kecil dan cacian menghujani ibuku. Sambil berlalu ibuku hanya mengusap keringat dan melanjutkan kerjaan. Aku trenyuh melihatnya......tak banyak yang bisa aku lakukan.
    Menanak nasi, ngaron, napung bulak balik menyesuaikan panci yang ada dan harus banyak. Nyuci perabotan kotor, Ngupas bumbu bawang, cabe dll tak ada hentinya, ngrebus air buat cabut bulu ayam dan bersihinnya, goreng lauk pauk, jajajan, sambal. Yang diluar tinggal teriak
"Kopi habis....."
"Tehnya kuraaaaang...."
"Jajannya masih nggak..."
Karena ini bukan hal pertama kali dan sudah jadi makanan aku dan ibuku, semua dianggap biasa daripada makan hati dan kerjaan malah tak beres makin menjadi2 bapakku.
    Benar saja, pukul 11 siang, bapak dah uring2an. Santri belum disuruh makan siang, marah2 soal ini itu nggak jelas. Ibuku lansung buat kode aku buat siapin makan siang. Dengan sedikit berlari piring, gelas, sayur, lauk aku siapkan dimeja. Sambel, air minum, kobokan, teh hangat sudah siap. Kemudian aku kedepan untuk menyilahkan santri dan bapak untuk makan siang.
    Makan siang sudah selesai dan lanjut bersihin piring gelasnya. Ayam yang dipotong sudah bersih dan siap direbus, setelah dirasa cukup lanjut ke pemanggangan. Untuk jerohan dan lainnya aku simpan dulu. Kerjaan belum selesai tetapi waktu terus mengejar. Ashar berkumandang ayam baru selesai aku panggang, ibu juga sudah selesai buat bumbu kare. Kemudian lanjut buat sambel goreng, buat lalapan, dan buat jenang merah putih sebagai simbol disetiap acara syukuran orang jawa.
    Adzan magrib selesai, ibuku juga sudah selesai urusan masak. Dia duduk di pinggir tiang (caga) dan makan pakai piring seng. Sesuap demi suap perlahan2 dia makan. Entah dia menikmati atau sudah capek. Aku lihat hanya sambel dan kerupuk, aku tawarin sayur maupun lauk lain dia hanya menggelengkan kepala.
    Pembacaan al-Quran sudah selesai dilanjut dengan doa. Aku dan ibuku juga sudah menyiapkan yang nanti buat acara syukuran. Semua sudah selesai, ibu lanjut berbaring selonjoran untuk memejamkan mata, menghilangkan penat. Aku dan suami anak lihat TV. bapak dan para santri berbincang2 di teras.
    Pukul 21 malam, dan para santri sudah berdatangan acarapun dimulai. Semua duduk di tengah2 rumah beralskan tikar. Suami dan anakku ikut duduk diujung karena tak begitu kenal dengan para santri. Aku dan ibuku masih dirumah belakang, yang syukuran hanya kaum laki2 saja.
    Dua baskom besar nasi biasa dan nasi uduk, sambal selayah, kerupuk setoples besar, lalapan sebaskom, ayam panggang bumbu kare 2 ekor, air putih, mangkok kobokan, kertas bungkus. Semuanya ada ditengah2 dan para santri mengitarinya. Sebenarnya tak banyak yang datang hanya 5-7 orang saja. Tetapi menu dan sajian itu tak boleh berubah banyak nya. Mau sedikit atau banyak yang datang tetap nasi 2 baskom dan 2 ekor panggang menu wajib.
    Setelah bapak membuka acara dan mengutarakan maksud dan tujuan, dilanjutkan bacaan tahlil dan doa dipimpin oleh pak kyai. Ami......n semoga semua doa dikabulkan...
Kemudian ada yang maju untuk membagi nasi, sedang bapak memotong2 ayam panggang diambil dagingnya. Nasi segunung dipiring, lanjut ke bapak untuk dikasih daging ayam, kemudian lanjut ke santri. Untuk lalapan, sambel dan krupuk ambil sendiri bebas. Setelah semua dapat dipiring dan makan lanjut untuk dibungkus dibawa pulang.
    Suamiku lansung menghampiriku, menu sama dengan yang lain. Aku makan bertiga sepiring sambil lihat TV. Aku lihat ibuku masih berbaring tak bergeming, dia tidak tidur hanya rebahan dan sesekali matanya mengarah ke TV.
    Setelah semua menyudahi makan, suami dan para santri sibuk membereskan piring dan semua hidangan ke dapur. Acara sudah selesai aku tidurkan anakku di kamar agar aku bisa bantu2. Aku lihat suami sudah sibuk di cucian. Aku membereskan hidangan yang masih sisa, aku jadikan satu, yang masih layak aku taruh meja buat dimakan lagi, aku ganti wadah yang kecil biar meja muat, aku bereskan agar meja terlihat tak berantakan. 
     Baskom, panci, piring, layan, gelas semua turun ke cucian, suami yang bagian sabun. Aku bagian bilas dengan air hangat lanjut mengembalikan ditempatnya. Semua sudah cukup, dapur dan rumah sudah kondisi normal. Pukul 23 malam aku dan suami masuk kamar istirahat. Aku lihat ibuku sudah berselimutkan jarit dengan sesekali mengibas nyamuk.

Malam semakin larut, memaksa semua mengganti hari...
Aku lihat suami dan anakku sudah lelap tertidur
Aku mencoba meluruskan badan dan memejamkan mata
Bagaimana ibuku ya yang capek....bisakah tidur nyenya?

40 hari lagi...sabtu pon lagi...
Apa ini acara terus menjadi turun temurun
Apakah yang dialami ibuku seharian di dapur
Akan aku lanjutkan....
Wajibkah......

Kalau bapak tiada...
Sabtu pon apa masih ada...
Hari kakek ku atau hari bapak ku nantinya
Atau malah keduanya..
Ya Allah...aku berpasrah kepada Mu

© Suara Hati Sang Dewi, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena