Demi keluarga seorang Dewi rela mengorbankan apa saja

Sunday 8 April 2012

Bebanku LDR disaat Hamil ke 2

    Namanya rejeki tak kemana, hanya rasa syukur saja yang bisa aku lakukan atas kehamilanku ke 2 ini. Dibilang jaraknya terlalu dekat dengan kakaknya bisa iya. Untuk menghindari hamil lagi di usia tua iya juga. Aku menikah umur 28 dan dikarunia anak pertama di tahun ke 2.
   Anakku yang pertama baru umur 1,3 tahun, masih minum asi dan belum bisa jalan karena beban badannya yang gemuk. Kondisiku sekarang sedang hamil yang kedua, jika diprediksi nanti lahirnya pas beda 2 tahun dengan kakaknya.

    Suamiku kerja di perantauan, aku jalani LDR semenjak lulus sma. Kami komunikasi dengan surat dan HP baru beberapa tahun terakhir. Suami selalu menghiburku dengan sms dan telp nya. "Mumpung belum usia 30 yank, gpp nanti tinggal mbesarinnya, disyukuri saja. Tak usah dengerin orang, kita yang njalani insy bisa kok" kata2 nya sebagai penghiburku. Dikehamilanku yang ke 2 ini ternyata orang tuaku tak menyetujui, karena melihat anakku yang pertama masih kecil.  "Makanya jangan hamil lagi" bentaknya. Setiap hari hanya air mata sebagai temenku, sesekali ku usap wajah anakku, sesekali ku usap perutku.  Anakku sudah tak mau Asi lagi dariku, mungkin sudah lain rasanya. Sekarang sering ikut ke neneknya, namanya anak kecil selalu merengek dan itu membuat orang tuaku marah dan berlanjut marah2i aku. 
    Pernah pulang kerja badanku lemas, anakku nangis meraung minta sesuatu. Mau aku tolong malah aku dimarahin. Aku tak boleh megang anakku, mau mandiin atau menidurkan saja tak boleh. Aku seakan2 mau dipisahkan dengan anakku. Aku menangis berderai air mataku di kamar, begitu bencinya orang tuaku. Anakku pertama menangis semakin kencang tetapi aku tak bisa berbuat apa2. Ku usap perutku sambil menangis di kamar..."ya Allah tolonglah hambamu..."
    Saat pulang kerja, namanya orang hamil capeknya 2x lipat, laparpun juga lebih melilit. Aku buka tutup nasi adanya hanya nasi dan beberapa tempe sudah layu. Beberapa hari ini orang tuaku tak masak sayur, kasian anakku makannya kering. Tapi aku tak berani protes, bukan aku yang masak, sudah menjaga anakku saat aku kerja saja itu lebih dari cukup.
    Hari semakin hari anakku mulai sudah pintar dan makin gemuk, kondisiku sendiri perut sudah mulai membesar. Keseharianku hanya diam dan menelan semua yang aku hadapi. Pagi buta aku harus bangun masak untuk semua isi rumah, jadi orang tuaku bangun semua sudah siap. Setidaknya aku tak menambahi beban mereka saat jaga anakku. Kondisiku semakin tak karuan, kurang tidur, makan seadanya, kadang anakku bermanja2 minta gendong, minta ini itu, merengek, tekanan batin dan perasaan yang bertubi2. 
    Suamiku pulang hanya 1-2 hari saja dalam sebulan. Anakku yang pertama sudah belajar jalan. Suatu ketika aku mandikan anakku 
" ibu...gendong..." Merengek anakku setelah mandi
" ibu g bisa yaa ndok, perut ibu ada dedeknya" rayuku agar dia mau mengerti
Dari luar kamar mandi ada suara keras
"Makanya kalau susah, nggak usah hamil. Udah tau anak masih kecil, sekarang ya rasakan sendiri..."
Seperti tombak nancap di hatiku...pediiiiiiihhhhh sampai air mataku keluar perlahan. Tak mau berlanjut aku angkat anakku yang gendut, kusandarkan pada perutku, tak perduli rasa ngilu dan sakitnya saat anakku menabrak perutku. ku gendong dengan sempoyongan sambil berpegangan pintu lantas keluar kamar mandi menuju kamar.....basah dan peluh wajahku penuh air mata. Rasa yang sakit bukan di perutku tapi pedih di hatiku.
" ya Allah kuatkan aku..." Mantap suara hatiku

Serak suaraku saat aku telp suamiku. Hanya begitulah aku menghibur diri dan berbagi dengan suami.
Untuk keteguhan hati dan semua ujian cobaan ini, jika lahir nanti suamiku akan memberi nama anakku Ibrahim.

© Suara Hati Sang Dewi, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena