Demi keluarga seorang Dewi rela mengorbankan apa saja

Sunday 13 February 2005

Biarlah memudar

Saat itu aku tak tahu harus bagaimana, dalam anganku aku harus lari. Aku dijodohkan dengan saudagar di kampungku karena ibuku terlilit hutang. Sedangkan bapak sudah meninggal saat aku kelas 5 SD. Aku mau melanjutkan SMP tapi karena tak ada biaya, aku istirahat dan adik2ku yang sekolah. Untuk makan, sekolah, kebutuhan kami harus pandai mengatur dan ibuku sampai larut malam untuk menafkahi kami.

Aku bingung kemana, aku ikut orang waktu di dermaga. Aku sedikit gentar ke jakarta, menemui siapa, mau apa. Tapi tekadku bulat aku tak mau nikah sekarang dan aku harus bantu ibuku untuk semua adik2ku, dan bayar utang pada saudagar kampungku.

Aku menginap dan nebeng hidup dengan orang yang aku minta tolong saat di dermaga. Tak kunjung dapat kerja di tangerang aku pindah ke jakarta. Disana ada banyak orang serumpun dengan ku. Pekerjaan sebagai penjaga toko, penjaga warnet, kuli pabrik aku jalani bersama teman2 disini. Tak banyak hasil karena sistem otsorsing dan borongan. Sebulan hanya 50rb - 150rb. Bayar kos patungan, makan warteg patungan, nahan perih kelaparan sudah menjadi terbiasa.

Berjalan 2 tahun di Jakarta dan hidup seadanya, aku mulai sering sakit. Hanya suara ibu yang jadi obatku. Itu pun aku telp di warnet telp tetangga jauh, nanti tetangga akan memanggil ibu. Ya hanya 5-10 menit dengan rindu yang amat sangat tapi uangku tak mencukupi. Ya sudahlah...

Akhirnya aku keluar dari kerjaan, tak ada uang dan tak bisa apa-apa. Untunglah temen kos yang sudah aku anggap kakak merawatku. Berhari2, berminggu2 aku tahan rasa sakit dengan hanya diam dan air mata. Akhirnya temen2 membawaku ke Rumah sakit Tarakan. Disana aku 2 minggu dirawat, dan Rs mengijinkanku untuk pulang, tapi kata temen rumah sakit tak sanggup menanganiku, entahlah

Bulan itu bulan ramadhan....suara takbir, taraweh, tadarus dan suasana ramadhan buat rindu pada ibu dan adik2.

Akhirnya dengan dana dan komdisi seadanya aku mudik, perjalanan 3 hari 4 malam dengan bus. Kondisi hujan dan arus mudik menambah lamanya aku menahan rinduku. Aku tiba dikampung disambut jerit tangis ibu dan adikku. Aku bahagia sekali hari ini....aku lihat senyum ibuku untuk terakhir kalinya...

Bu...maafkan aku
Aku tak bisa bantu ibu mencari nafkah
Terimakasih atas semua kasih sayang dan doa2mu
Bu..maaf aku tak bisa menuruti ibu
Tak bisa bantu jaga adik dan bayar hutang
Tak bisa membahagianmu
Tak bisa membuatmu tersenyum
Tak bisa mengusap keringatmu
Tak bisa memijit u saat lelah

Bu maafkan aku
Meningitis merasuki tubuhku, entah sejak kapan aku tak tahu bu
Melihatmu untuk terakhir kalinya, 
Itu adalah anugerah yang aku terima
Aku bisa mencium surga ditelapak kakimu ibu

Inet
Minang 1989-2004
Love u forever

© Suara Hati Sang Dewi, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena